
Oleh : Angga Sagita
Hukum digunakan untuk menjaga sebuah tatanan masyarakat yang sudah ada. Agar tidak tercipta kekacauan dan ketidakseimbangan social yang mampu menekan individu ataupun kelompok social yang lain di segala bidang. Oleh karena itulah di bagian dunia manapun hulum selalu dilambangkan dengan timbangan yang tak lain berarti keadilan dan kesesuain yang setimpal dengan perbuatan atau saya lebih suka menyebutnya sebagai keseimbangan social.
Di dalam setiap jaman kehidupan berkelompok antar individu membutuhkan aturan agar tidak memberikan ketidaksewenangan satu individu atau satu kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lainnya.
Lalu akan menjadi sebuah pertanyaan “mengapa kesewenangan itu bisa terjadi di antara masyarakat?” jawabanya adalah tergantung dengan motif yang dimiliki dan hampir kebanyakan selalu berhubungan dengan motif ekonomi. Setiap individu selalu memiliki hasrat untuk memiliki apa yang tidak atau belum dimiliki baik secara halal atau haram. Dan saat itulah mentalitas individu diuji. Namun saya tidak akan membahasnya secara mendalam, saya akan membahas sisi kelemahan hukum yang dapat lemah bila berhadapan dengan unsur sosial.
Bagaimana mungkin sebuah hukum dan instrumennya tidak mungkin tidak dapat bersinggungan dengan unsur sosial, individu atau bahkan unsure sosial itu sendiri? Jawabanya adalah selalu dan pasti bahwa instrument hukum akan bersebrangan dengan elemen-elemen di atas, karena hukum adalah nafas bagi sebuah kelompok sosial untuk mengatur, mambatasi dan juga membebaskan. Dan yang paling penting adalah unsur-unsur social yang terbentuk hingga terangkum menjadi apa yang namanya sebuah Negara, supremasi hukum adalah syarat utama yang hakiki dan tak terganti dari sebuah Negara yang menamakan dirinya Negara Demokratis.
Sebagaimana yang telah tercantum di atas bahwa hukum itu membatasi dan juga membebaskan adalah berarti tidak memberi kesempatan unsur social lain berbuat di luar aturan yang dapat merugikan pihak lainnya yang juga mengartikan membebaskan pihak tersebut dari ancaman kerugian dari sesama unsur sosial. Dalam artian yang juga mengandung semangat demokrasi dimana menjunjung tinggi hak dan harkat manusia terhadap sesama dan tidak ada satupun individu di dalam sebuah Negara lebih tinggi dari individu lainnya, kesemuanya tetap sama di mata hukum walaupun individu tersebut memiliki peran dan kuasa yang berbeda.
Supremasi hukum di Negara manapun di buat oleh sekeompok orang yang berperan besar dalam sumbangsih di Negara tersebut. Bertujuan untuk menjaga tatanan sebagaimana tercantum dalam paragraf pertama. Sekali lagi perlu untuk digarisbawahi, kata “sekelompok” untuk mengatur “kelompok atau individu lainnya” di masa ini atau masa setelahnya sejak seupremasi itu dibuat. Di sinilah integritas hukum dipertaruhkan ketika hukum tersebut memiliki instrumen yang bertugas untuk menjaga, melaksanakan, dan merawatnya. Apakah instrument tersebut tetap sejalan dengan motif dan alasan sebagaimana saat hukum tersebut diciptakan? Bila tidak maka integritas hukum tersebut akan tidak kondusif dan tidak stabil dalam menjalani tatantangan waktu.
“Law enforcement is started by powerful hands always” saya rasa tidak berlebihan bila menggunakan kalimat di atas yang mengatakan pelaksanaan hukum selalalu dimulai oleh pihak yang berkuasa. Di tempat manapun pihak yang berkuasa akan memiliki peran yang besar untuk menegakkan hukum seperti halnya pemerintah, raja, ataupun senat bila dalam pemerintahan, merekalah para “powerful hands” atau pihak yang berkuasa seperti yang saya maksud. Di tangan merekalah produk hukum akan tampak nyata berperan dalam masyarakat, karena merekalah instrumen hukum yang memanefestasikan aturan tertulis di atas kertas yang disebut dengan hukum untuk menjadi nyata pelaksanaannya di dalam interaksi social.
Para instrument hukum tersebut berkewajiban untuk melaksanakan dan menjaga integritas hukum, pelaksanaan di tengah masyarakat dalam berinteraksi social inilah yang disebut dengan supremasi hukum. Supremasi diambil dari istilah asing bahasa inggris “Supreme” yang artinya “tertinggi” di mana mengertikan faedah supremasi hukum menjadi kekuatan hukum adalah yang tertinggi. Kata tertinggi menunjukan sesuatu yang tak bisa ditandingi ataupun digeser, bila mampu ditandingi ataupun digeser maka supremasi menjadi lemah dan tidak kuat.
Itulah yang terjadi di tengah masyarakat kita belakangan ini ketika supremasi hukum dicoba untuk di turunkan dari ketinggian untuk digantikan dengan kepentingan satu pihak atau lebih dengan mengatasnamakan toleransi hukum. Inilah ambiguitas dalam masyarakat kita yang mencampuradukan supremasi dengan toleransi dalam hal hukum. Hukum tak dapat ditoleransi, ia dibuat untuk membatasi dan mengatur. Dibuat untuk keseimbangan dan perlambangan ketegasan. Toleransi hanya untuk interaksi social yang berhubungan dengan pluralisme atau perbedaan dalam budaya, agama, ras, dan suku….berbeda namun berbaur. Menghargai perbedaan itulah toleransi dan juga merupakan suatu kekuatan dalam kehidupan bersosial. Namun perbedaan itu tidak termasuk dalam hal hukum, budaya, agama, ras, dan suku diatur dalam satu koridor hukum di mana toleransi tidak perlu masuk agar tidak ada aroma keberpihakan. Sebagaimana yang telah di tulis dalam sloka kitab Sotasoma “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” – “berbeda-beda tetapi tetap satu dan tak ada kebenaran yang mendua”. Kata tetap satu adalah mengacu pada satunya Aturan/Hukum dan kalimat tak ada kebenaran mendua artinya tak adanya kemenduaan aturan/tidak memihak. Sebagaimana itulah hukum selalu mengatakan benar adalah benar dan salah adalah salah dan tak ada kebenaran yang mendua.
Akan menjadi lebih buruk ketika instrumen hukum mulai lemah dan tergoyahkan oleh motif searah satu pihak tertentu yang mencoba mengambil kesempatan dari kekuatan hukum itu sendiri untuk menekan pihak lainnya ataupun merampas hak dari pihak lainnya. Bila hal tersebut terjadi maka supremasi hukum telah luntur kemurnian dan integritasnya, dia berubah bentuk dari panutan menjadi alat untuk menekan. Masyarakat yang menjadi korban akan menarik kesimpulan kondisi tersebut sebagai kondisi ketidakadilan di mana memandang bahwa hukum telah berpihak pada mereka yang disebut instrument hukum itu sendiri atau di tangan penguasa(the powerful hands).
Setelah kondisi di atas sudah terbentuk di mana ketidakpercayaan hukum semakin merebak, maka selanjutnya adalah reaksi berantai yang menakutkan akan terjadi. Masyarakat akan menguatkan diri mereka untuk melawan. Sedangkan yang dihadapi adalah pihak yang kuat maka satu-satunya langkah yang dilakukan untuk menguatkan diri adalah menyatukan diri dengan pihak korban lainnya yang merasa senasib menjadi korban keberpihakan hukum dan perlawananpun mulai tampak. Dari pihak yang hanya berupa individu berkumpul menjadi kelompok, antar kelompok menyamakan visi bersama untuk melawan maka mereka menjadi massa yang terdiri dari ratusan ataupun ribuan individu. Dan tujuan mereka adalah melawan supremasi yang ada karena merasa telah menjadi korban kesewenangan.
Di sinilah mulai tampak ketidakteraturan kehidupan social terjadi di mana supremasi hukum tidak menjadi panutan bagi kelompok massa tersebut. Maka kelompok massa tersebut membuat supremasi sendiri di luar supremasi yang ada untuk dianuti dan diikuti dengan mengataskan hanya keseragaman kelompok tersebut di atas segala-galanya. Dan yang tampak hanyalah logo kelompok yang bisa dalam bentuk satu budaya tertentu, satu agama tertentu, satu ras tertentu dan satu suku tertentu. Sekali lagi reaksi berantai terus menciptakan momentum kekacauan kehidupan social yang ada. Kelompok tersebut akan mulai tampak kefanatikannya dan menganggap apapun di luar supremasi yang mereka anggap benar adalah supremasi yang salah sehingga membenarkan diri mereka sendiri sebagai the powerful hands of their own justice…. Sekali lagi menurut versi mereka sendiri untuk membenarkan ataupun menyalahkan bahkan menghukum pihak yang menganut di luar supremasi kelompok mereka.
Aturannya bisa menjadi sangat sederhana, siapa yang kelompoknya paling banyak bisa membenarkan yang salah bila salah di mata hukum sah namun benar di mata aturan mereka sendiri begitu juga sebaliknya. Bila instrumen hukum yang sah sedikit anggotanya harus menghadapi kelompok yang labih banyak yang jelas-jelas berada bersebrangan dengan supremasi yang sah maka yang pasti dilakukan adalah dialog dimana toleransi umum berperan dan supremasi hukum akan mati perlahan.
Komentar
Posting Komentar